Coba Kamera Saku Baru dan Malah Bikin Saya Nangis

Minggu sore, kamera saku baru, dan harapan sederhana

Minggu sore bulan Mei, saya duduk di teras rumah dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Kamera saku baru itu masih hangat di tangan — kecil, ringan, dan mengkilap seperti janji. Setelah sepuluh tahun menulis tentang teknologi, saya terbiasa menilai setiap gadget dengan daftar fitur: aperture, ISO, stabilizer. Kali ini ada kata yang terus muncul di semua materi marketing: AI. “Auto-enhance”, “smart composition”, “generation tools”. Saya penasaran. Bukan hanya soal spesifikasi; saya ingin tahu bagaimana AI akan merawat hal paling rapuh dari pekerjaan saya sebagai penulis dan pembuat foto: memori.

Pertemuan pertama: unboxing, klik, reaksi yang tak terduga

Unboxing dilakukan tanpa seremoni besar — meja ruang tamu, lampu kuning, putaran playlist favorit di latar. Saya jalan-jalan kecil ke halaman, memotret daun basah, anak tetangga yang sedang bermain bola, dan foto random seorang kakek yang lewat. Kamera sukses membuat semuanya rapi. Tapi saat membuka aplikasi pendamping di ponsel, saya menemukan satu fitur: “Restore & Enhance”. Alasan pameran: sebuah foto lama keluarga yang saya bawa sebagai referensi—kertasnya sobek, noda kopi menutupi sudut, namun mata dari sosok di foto itu selalu membuat saya merasa hangat. Saya melakukan eksperimen kecil: unggah foto, tekan “restore”.

Layar berputar, progress bar bergerak, dan hasilnya muncul — bukan sekadar bersih, tapi direkonstruksi. Rambut dicetak ulang dengan detail yang tidak ada di foto aslinya, kerutan samar muncul seperti kenangan yang diberi definisi ulang. Saya menatap. Napas terhenti. Kemudian: air mata. Kenapa saya nangis? Karena itu bukan hanya teknologi yang bekerja; itu seperti seseorang merapikan kenangan yang selama ini kusut. Dan itu terasa… terlalu akurat.

Proses, dilema, dan percakapan batin

Selama beberapa jam berikutnya saya melakukan eksperimen yang lebih serius. Saya memotret momen baru, lalu menggunakan fitur AI untuk memperbaiki cahaya dan “menghidupkan” kembali beberapa foto lama yang sebelumnya saya anggap tidak layak cetak. Tools yang saya pakai bukan satu merek saja; saya berpindah antara upscaler, colorizer, dan inpainting. Praktisnya, fitur-fitur itu bekerja: foto yang dulunya pudar kini berwarna. Detail yang hilang diisi. Namun setiap keberhasilan teknis menimbulkan pertanyaan etis di kepala saya.

Saya mengingat satu percakapan internal: “Apakah aku mengubah kebenaran kenangan?” dan diikuti dengan “Atau justru menyelamatkannya?” Saya teringat pengalaman mengurusi arsip proyek foto dokumenter beberapa tahun lalu—ketika saya harus memutuskan apakah akan membersihkan noda age spot pada negatif atau membiarkannya sebagai bukti usia. Keputusan selalu subjektif. AI membuat proses itu lebih mudah, lebih cepat. Tetapi mudah bukan selalu benar. Saat itu saya mencari referensi dan menemukan sebuah blog desain lokal yang membahas cetak foto restoration; tautannya membawa saya ke maxgrafica — sumber yang membantu saya memilih lab cetak yang jujur tentang restorasinya.

Hasil, pembelajaran, dan batasan yang saya tetapkan

Akhirnya saya cetak satu foto hasil restore itu, letakkan di meja kerja, dan duduk lama memandangnya. Tangisan hari itu bukan semata karena kecanggihan AI. Ia adalah reaksi terhadap ketajaman memori yang kembali, terhadap perasaan diambil alih oleh sesuatu yang bermakna namun asing. Dari pengalaman ini saya menarik beberapa pelajaran praktis yang ingin saya bagi:

– Simpan versi asli selalu. Tidak ada yang boleh meniadakan arsip asli; kita membutuhkan referensi dan bukti proses.
– Gunakan AI sebagai alat kurasi, bukan penguasa. Biarkan AI memberi opsi, tapi keputusan artistik harus tetap pada manusia.
– Transparansi penting. Bila foto dipulihkan atau diubah, catat perubahan—terutama pada karya dokumenter.
– Ada nilai emosional yang tidak terukur. Kadang “keaslian” yang rusak memiliki cerita sendiri. Menghapusnya akan menghapus lapisan cerita itu.

Saya juga belajar menjaga jarak emosional saat bereksperimen. Teknik-teknik AI akan terus berkembang — itu pasti. Pengalaman saya bukan pernyataan anti-teknologi, melainkan panggilan untuk kehati-hatian dan refleksi. Kamera saku itu memberi saya lensa baru bukan hanya ke dunia, tapi ke memori saya sendiri. Kadang teknologi membantu menyembuhkan; kadang ia memaksa kita menghadapi betapa rapuhnya batas antara kenangan dan kreasi.

Di akhir hari, saya menaruh kamera kembali ke kotaknya, mematikan lampu teras, dan menulis sebagian dari cerita ini. Air mata kering, tapi pertanyaan tetap tinggal. Itu bagus. Teknologi yang baik bukan jawaban final; ia memicu pertanyaan yang lebih dalam—dan itu tanggung jawab kita untuk menjawabnya dengan bijak.